19

 Sembilan Belas


Sekali dalam Seratus Tahun



Kata manusia hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Benarkah? Kali ini aku melihat Bumi telah datang. Kata kakek buyut ia sangat baik. Ia lantas bergegas menyiapkan barang dan mengemasnya ke dalam koper merah. Aku menyapanya dan ia menyapa balik. Sangat berkesan.

Sambil membawa payung aku berjalan melihat sebuah taman yang diguyur hujan rintik-rintik pagi ini. Taman ini pernah dikunjungi kakek buyutku, Bumi dan Kakek Buyut Bulan.

Aku menengok ke arah Bumi dengan rasa putus asa. Aku minta maaf tidak bisa menyinari seperti biasanya hari ini. Aku juga mengatakan “sepertinya tidak ada yang menanti kita.” Bumi mengernyitkan dahi.

Pukul sepuluh, aku benar-benar kaget mendapat banyak pesan berisi “Benarkah hari ini akan terjadi? Semoga aku bisa melihatnya” dan “Ah, gara-gara kalian aku tidak bisa bertemu dengan kekasihku.”

Bertolak belakang memang, sudah kuduga akan seperti itu.

Memang tidak sedikit yang menunggu kami tiba ke lokasi, tetapi tidak sedikit pula yang tidak ingin menyaksikan kami.

Senja pukul lima, rombongan yang membawa Bulan datang. Aku tidak menyangka Bulan akan datang. Pasalnya, dia sekarang tinggal sangat jauh. Bulan tampil catchy dengan topi andalan dan sepatu stroke hitam. Ia memegang tanganku berusaha meyakinkan. Ia sangat mirip dengan apa yang diceritakan kakek buyutku. Sangat tampan. Kami pun berkumpul di sebuah hamparan luas, sebuah taman yang nyaman.

Kami saling melontarkan senyum dan pujian. Tidak ada rasa duka satupun yang menyelimuti. Ya, harusnya memang begitu. Pertemuan pertama sekaligus terakhir ini tidak akan ada lagi bagi kami.

Tepat pukul delapan lebih sepuluh kami memejamkan mata dan berdoa.

Tuhan izinkan kami bahu membahu, melaju, memberitahu manusia akan kehebatanMu. Tuhan berikan banyak kebahagiaan bagi seluruh ciptaanMu malam ini. Tuhan berikan banyak nikmat hari ini. Tuhan tolonglah.

Air mata kami menetes. Kami saling memeluk. Ya, kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Kesempatan untuk banyak bersyukur.

Kesempatan saat ini, saat yang hanya datang sekali dalam seratus tahun. Saat dimana kami saling berdekatan dan berada pada titik yang sama sangat lama dari biasanya.

Saat semua sudah siap, dan tidak ada musuh yang mengamati mereka, tidak mengharapkan hal seperti itu, bulan hilang cahayanya di malam hari [...],"

~ Plato (1876) disunting oleh John Dryden dalam Plutarch’s Lives of Illustrious Men: Corrected from the Greek and Revised

Komentar

Postingan Populer